MASA DEPAN MULTIKULTURALISME
Hal yang
harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam
tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki
bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang
tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak
mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak,
Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan
dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu
kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah
yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru
berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang
telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai.
Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang
disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham
Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di
Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul
semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang
dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak
menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya.
Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini
tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham
kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal
ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka
merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara
eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan
menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan
beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara
implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan
spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan
untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun
berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian
munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya
mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan
kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal
bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap
dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat,
antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat
menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial
maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian
sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan
yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila,
yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang
multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila
haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi
sosial politik yang pluralistik.
Pancasila
adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi
sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan
sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan
etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk
konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar