Selasa, 27 Desember 2011

KONFLIK SOSIAL


Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Konflik merupakan pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak. Pruit dan Rubin mendefinisikan konflik dengan mengutip Webster bahwa “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan” (Pruit dan Rubin, 2004: 10).
Dalam sosiologi, konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan. Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau menyingkirkan pihak lain. Pengertian ini sesuai dengan pendapat Soedjono. Menurut Soedjono (2002:158), pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial dimana pihak-pihak yang ada di dalamnya berusaha untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawannya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tidak kekerasan.
Sedangkan konflik sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusuhan atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.

1.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Teori konflik menilai bahwa keteraturan yang ada dalam masyarakat disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep sentral dari teori ini adalah wewenang dan posisi yang keduanya merupaka fakta sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Jadi, pada intinya konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.

2.      Macam-macam Konflik Sosial
Soerjono Soekanto (1998:90) berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis konflik. Menurutnya, konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:
a.    Konflik pribadi
Yaitu konflik yang terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Konflik ini pada umumnya diawali dari perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan benci yang mendalam. Pada dasarnya konflik pribadi banyak terjadi dalam masyarakat.
b.    Konflik rasial
Konflik rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Hal yang memicu terjadinya konflik rasial ini adalah adanya sikap etnosentrisme yang berlebihan, yaitu menganggap kebudayaan sendiri lebih baik dibandingkan dengan kebudayaan lain.
c.    Konflik antarkelas sosial
Adanya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan dan kekuasaan yang kemudian dijadikan dasar penempatan kedudukan seseorang dalam masyarakat yaitu kelas sosial atas, menengah dan bawah.  Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mempunyai hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Kondisi inilah yang dapat menimbulkan adanya konflik antarkelas sosial.
d.   Konflik bersifat internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka dampaknya yang dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.
3.      Upaya Penyelesaian Konflik
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik, diantaranya:
Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam. Jadi, seseorang yang mempunyai kekuasaan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk meredam suatu konflik. Metode ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan
Kedua, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Cara lain yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik yaitu dengan koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen.
Dengan mediasi atau melalui perantara. Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur, adil serta tidak memihak. Dalam mediasi ini pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami.
Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
(1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain.
(2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian.
            (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
(4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
4.      Dampak yang Ditimbulkan dari Adanya Konflik
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Dampak secara positif apabila tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sisitem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik berdampak negatif apabila menyerang suatu nilai ini. Dalam hal konflik antara satu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat berdampak positif karena membantu pemantapan batas-batas struktural dan mempertinggi integritas dalam kelompok.
Dampak positif dari konflik diantaranya adalah:
·         Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
·         Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.
·         Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
·         Mempunyai fungsi komunikasi.

Dampak negatif dari konflik diantaranya:

·         Keretakan hubungan antar kelompok
·         Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
·         Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia
·         Dominasi bahkan penaklukan salha satu pihak yang terlibat dalam konflik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar