KONFLIK SOSIAL
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Konflik
merupakan pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul dalam
bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah pihak. Pruit dan Rubin
mendefinisikan konflik dengan mengutip Webster bahwa “konflik berarti persepsi
mengenai perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan” (Pruit dan Rubin,
2004: 10).
Dalam
sosiologi, konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan. Pertikaian adalah
bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak
bermaksud untuk mencelakakan atau menyingkirkan pihak lain. Pengertian ini
sesuai dengan pendapat Soedjono. Menurut Soedjono (2002:158), pertikaian adalah
suatu bentuk interaksi sosial dimana pihak-pihak yang ada di dalamnya berusaha
untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawannya. Sedangkan menurut Soerjono
Soekanto, konflik adalah suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok
manusia untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang
disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan
tidak kekerasan.
Sedangkan
konflik sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusuhan atau keadaan yang
tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat,
golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.
1. Faktor-faktor Penyebab
Terjadinya Konflik
Teori
konflik menilai bahwa keteraturan yang ada dalam masyarakat disebabkan adanya
tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Konsep
sentral dari teori ini adalah wewenang dan posisi yang keduanya merupaka fakta
sosial. Distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata menjadi faktor yang
menentukan konflik sosial secara sistematik. Kekuasaan dan wewenang menempatkan
individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling
bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Masing-masing golongan
dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan satu sama lain.
Pertentangan tersebut terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa
berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha
untuk mengadakan perubahan-perubahan. Jadi, pada intinya konflik terjadi karena
adanya perbedaan kepentingan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut.
2. Macam-macam Konflik
Sosial
Soerjono
Soekanto (1998:90) berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis konflik.
Menurutnya, konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:
a. Konflik
pribadi
Yaitu
konflik yang terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Konflik ini pada
umumnya diawali dari perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada
akhirnya menimbulkan perasaan benci yang mendalam. Pada dasarnya konflik
pribadi banyak terjadi dalam masyarakat.
b. Konflik
rasial
Konflik
rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras.
Hal yang memicu terjadinya konflik rasial ini adalah adanya sikap etnosentrisme
yang berlebihan, yaitu menganggap kebudayaan sendiri lebih baik dibandingkan
dengan kebudayaan lain.
c. Konflik
antarkelas sosial
Adanya
kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan
dan kekuasaan yang kemudian dijadikan dasar penempatan kedudukan seseorang
dalam masyarakat yaitu kelas sosial atas, menengah dan bawah.
Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati
posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada
pada posisi bawah. Dari setiap kelas mempunyai hak dan kewajiban serta
kepentingan yang berbeda-beda. Kondisi inilah yang dapat menimbulkan adanya
konflik antarkelas sosial.
d. Konflik bersifat internasional
Konflik internasional biasanya
terjadi karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang menyangkut kedaulatan negara
yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka dampaknya yang
dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.
3.
Upaya Penyelesaian Konflik
Hodge dan Anthony (1991), memberikan
gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik, diantaranya:
Pertama,
dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan
kewenangan agar konflik dapat diredam. Jadi, seseorang yang mempunyai kekuasaan
memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk meredam suatu konflik. Metode ini
umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik
bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan
Kedua,
penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada
masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan
kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Cara
lain yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik yaitu dengan koesistensi
damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan
saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian
serta diterapkan secara ketat dan konsekuen.
Dengan
mediasi atau melalui perantara. Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu,
masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang
berperan secara jujur, adil serta tidak memihak. Dalam mediasi ini pihak-pihak
yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan
nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang
mereka alami.
Pengendalian
konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara
pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara
efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:
(1)
harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari
badan-badan lain.
(2)
lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang
berfungsi demikian.
(3) lembaga harus mampu mengikat
kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.
(4)
lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
4. Dampak yang Ditimbulkan
dari Adanya Konflik
Menurut
Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Dampak secara
positif apabila tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat
negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sisitem nilai
yang ada dalam masyarakat, konflik berdampak negatif apabila menyerang suatu
nilai ini. Dalam hal konflik antara satu kelompok dengan kelompok lain, konflik
dapat berdampak positif karena membantu pemantapan batas-batas struktural dan
mempertinggi integritas dalam kelompok.
Dampak
positif dari konflik diantaranya adalah:
·
Meningkatkan
solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik dengan kelompok
lain.
·
Membantu menciptakan
ikatan aliansi dengan kelompok lain.
·
Mengaktifkan peranan
individu yang semula terisolasi.
·
Mempunyai fungsi
komunikasi.
Dampak
negatif dari konflik diantaranya:
·
Keretakan hubungan
antar kelompok
·
Perubahan kepribadian
pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
·
Kerusakan harta benda
dan hilangnya jiwa manusia
·
Dominasi bahkan
penaklukan salha satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar