A.
Biografi
singkat karir Auguste Comte
Auguste
Comte lahir di Monpellier,
Prancis, pada tanggal 19 Januari 1789
(Pickering,1993:
7). Orang tuanya berasal dari kelas menengah dan akhirnya sang ayah meraih
posisi sebagai petugas resmi pengumpul pajak local. Dari orangtua yang menjadi pegawai kerajaan dan penganut
agama katolik yang saleh. Comte berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan anaknya
sebagai pegawai kerajaan dan sekaligus sebagai penganut katolik yang saleh.
Meskipun seorang mahasiswa yang cerdas, Comte tidak pernah mendapatkan ijazah
sarjana.Ia dan seluruh mahasiswa seangkatannya dikeluarkan dari Ecole
Polytechnique karena gagasan politik dan pembangkangan mereka. Pemberhentian
ini berdampak buruk pada karir akademis Comte. Pada tahun 1817 ia menjadi
sekretaris (dan “anak angkat” [Manuel, 1962:251]) Claude Henri Saint-Simon,
seorang filsuf yang empat puluh tahun lebih tua dari Comte. Mereka bekerja sama
selama beberapa tahun dan Comte mengakui besarnya utang pada Saint-Simon. Namun
pada tahun1824 mereka bertengkar karena Comte yakin bahwa Saint-Simon ingin
menghapuskan nama Comte dari daftar ucapan terima kasihnya. Kemudian Comte
menulis bahwa hubungannya dengan Saint-Simon “mengerikan” sebagai “penipu hina”
(Durkheim, 1928/1962:144). Pada tahun 1852, Comte berkata tentang Saint-Simon,
“aku tidak berutang apapun pada orang ini” (Pickering,1993:240).
Pergaulan Comte dengan gadis – gadis juga mendatangkan
relevansi untuk memahami evolusi dalam pemikiran Comte, khususnya perubahan dalam
tekanan tahap – tahap akhir kehidupannya dar positivisme ke cinta. Comte
menikahi wanita bernama Caroline Massin (1825) yang merupakan mantan wanita
tuna susila, yaitu seseorang yang telah lama menanggung beban emosional dan
ekonomi dengan Comte. Pada tahun 1826, Comte mengelola satu
skema yang akan digunakannya untuk menyampaikan serangkaian 72 kuliah umum
tentang filsafat-filsafatnya. Kuliah ini menarik audiens luar biasa banyaknya,
namun diberhentikan pada kuliah ketiga saat Comte menderita gangguan jiwa. Ia terus mengalami masalah mental, dan
pada tahun 1827 ia pernah mencoba bunuh diri (meski gagal) dengan melemparkan
dirinnya ke sungai Seine.
Sesudah Comte keluar dari rumah sakit, istrinya merawat Comte dengan tulus
tanpa penghargaan dari Comte bahkan kadang Comte bersikap kasar padanya.
Setelah pisah untuk sesaat lamanya, istrinya pergi dan meninggalkan Comte
sengsara dan gila.
Meskipun
ia tidak dapat memperoleh posisi regular di Ecole Polytechnique, Comte
mendapatkan posisi minor sebagai asisten pengajar pada tahun 1832. Pada tahun
1837, Comte mendapatkan posisi tambahan sebagai penguji ujian masuk, dan untuk
pertama kalinya, ini memberikan pendapat yang memadai (ia sering kali
tergantung secara ekonomis pada keluarganya sampai saat itu). Selama kurun
waktu tersebut, Comte mengerjakan enam jilid karya yang melambungkan namanya.Cours de Philosophie Positive, yang
secara keseluruhan terbit pada tahun 1842 (jilid pertama terbit pada tahun
1830).Dalam karya ini Comte memaparkan pandangannya bahwa sosiologis adalah
ilmu tertinggi. Ia juga menyerang Ecole Polytechnique dan hasilnya adalah pada
tahun 1844 pekerjaanya sebagai asisten tidak diperpanjang.tahun 1851 ia
menyelesaikan empat jilid bukuSysteme de
Politique Positive, yang lebih bertujuan praktis, dan menawarkan rencana
reorganisasi masyarakat.
Setelah menyelesaikan enam jilid Course de Philosophie Positive, Comte bertemu dengan Clothilde de
Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun
lebih muda Comte, dan ia sedang ditinggalkan oleh suaminya ketika mereka
bertemu. Awalnya Clothilde tidak menanggapi surat cinta yang Comte kirimkan
padanya. Namun pada suatu surat, Clothilde menerima Comte menjadi pasangannya,
karena Clothilde terdesak atas keprihatinan gangguan mental yang dialami oleh
Comte. Namun romantika ini tidak berlangsung lama karena Clothilde mengidap
penyakit TBC yang kemudian mengakibatkan Clothilde meninggal. Kehidupan Comte
lalu tergoncang, dan dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang
“bidadari”-nya itu.
Helibron
menandaskan bahwa kehancuran terbesar terjadi dalam kehidupan Comte pada tahun
1838 dan sejak saat itu ia kehilangan harapan bahwa setiap orang akan
memikirkan secara serius karyanya tentang ilmu pengetahuan secra umum, dan
khususnya sosiologi. Pada saat yang bersamaan ia mengawali hidup “yang
menyehatkan otak”; yaitu, Comte mulai tidak mau membaca karya orang lain, yang
akibatnya ia menjadi kehilangan harapan untuk dapat berhubungan dengan
perkembangan intelektual terkini. Setelah
tahun 1838 ia mulai mengembangkan gagasan anehnya tentang reformasi masyarakat
yang dipaparkanya dalam buku Systeme de
Politique Positive. Dalam buku ini jelaskan mengenai pernyataan
menyeluruh mengenai strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat
positif yang sudah dikemukakannya terlebih dahulu dalam bukunya Course de Philosophie Positive.
Karena dimaksudkan untuk mengenang “bidadari”-nya, kara
Comte dalam “politik positif” itu didasarkan pada gagasan bahwa kekuatan yang
sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan
pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi
masyarakat dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta
murni dan egoistis demi “kebesaran kemanusiaan”. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan suatu agama baru – agama Humanitas – yang merupakan sumber –
sumber utama bagi perasaan – perasaan manusia serta mengubahnya dari cinta diri
dan egoisme menjadi altruisme dan cinta tetapi sekaligus tidak akan membenarkan
secra intelektual ajaran – ajaran agama tradisional yang bersifat
supernaturalistik. Comte mulai menghayalkan dirinya sebagai
pendeta tinggi agama baru kemanusiaan; ia percaya pada dunia yang pada akhirnya
akan dipimpin oleh sosiolog-pendeta. (Comte banyak dipengaruhi latar belakang
Khatoliknya). Menarik untuk disimak, ditengah gagasan berani itu, pada akhirnya Comte banyak mendapatkan banyak pengikut di
Prancis, maupun di sejumlah Negara lain. Auguste Comte wafat pada 5 september
1857.
A. Pokok Pikiran Filsafat Potisivisme
Auguste Comte
Comte
adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi (Pickering,2000: Turner, 2001) ia membawa pengaruh besar
pada beberapa orang teoretisi sosiologi yang lebih kemudian (khususnya Herbert
Spencer dan Emile Durkheim). Ia percaya bahwa studi sosiologi haruslah ilmiah,
sebagaimana yang telah dirintis teoretisi klasik dan sosiolog-sosiolog
kontemporer (Lenzer, 1975).
Comte
sangat terusik oleh anarki yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Prancis
dan bersikat kritis terhadap pemikir yang menumbuhkembangkan pencerahan dan
revolusi ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, “positivisme” atau “filsafat positif”, untuk
menyerang apa yang dipandangnya filsafat negative dan destruktif dari
pencerahan. Comte sejalan, dan dipengaruhi oleh pemikir khatolik kontrarevolusi
Prancis (khususnya de Bonald dan de Maistre).Namun, karyanya dapat dibedakan
dari pandangan kedua orang tersebut paling tidak karena dua alasan.Pertama, menurut pendapatnya, tidak
mungkin kembali lagi ke zaman pertengahan; kecanggihan ilmu pengetahuan dan
industry menjadikannya mustahil.Kedua, ia
mengembangkan sistem teoritis yang jauh lebih canggih daripada pendahulunya,
sebuah sistem teoritis yang cukup untuk membangun sosiologi awal.
Meskipun Comte memberikan istilah positivisme, gagasan
yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Masyarakat positivis
percaya bahwa masyarakat merupkan bagian dari alam dan bahwa metode – metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum – hukum yang sudah
tersebar luas di lingkungan intelektual diman Comte hidup. Tetapi sementara
kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan orang – orang yang
progresif yang berekad mencampakkan tradisi – tradisi irasional dan
memperbaharui rakyat dengan hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte
percaya bahwa penemuan hukum – hukum alam itu akan membukakan batas – batas
yang pasti melekat (inherent) dalam kenyataan sosial, dan melampaui batas –
batas itu usaha pembaruan akan
merusakkan dan menghasilkan sebaliknya.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang
bersifat ilmiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis
melalui mana semua ilmu – ilmu lain sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup
perkembangan dari bentuk pemkiran teologis, metafisis yang pada akhirnya samapi
terbentuknya hukum – hukum ilmiah yang positif. Bidang Sosiologi (Fisika
Sosial) adalah paling akhir melewati tahap – tahap ini, karena pokok
permasalahnnya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan
biologi.
Mengatasi cara – cara berfikir mutlak yang terdapat dalam
tahap – tahap pra-positif, menerima kenisbian pengetahuan kita secara terus
menerus terbuka terhadap kenyataan – kenyataan baru merupakan ciri khas yang
membedakan pendekatan positivis yang digambarkan Comte
A. Hukum Perkembangan Cara Berfikir
Manusia dan
Implikasi Sosial Kemasyarakatan
Menurut Comte ada tahap perkembangan intelektual yang
masing – masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya meliputi:
1. Tahap pertama
dinamakan tahap teologis atau fiktif,
yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala – gejala disekelilingnya
secara teologis, yaitu dengan keuatan – kekuatan yang dikendalikan roh dewa – dewa
atau Tuhan Yang Maha Kuasa atau menggambarkan tingkatan pemikiran yang
menganggap bahwa semua gejala yang
terjadi dan bergerak berada di bawah pengaruh daripada suatu kekuatan
supernatural atau kekuatan gaib.
Di dalam tahap pemikiran ini manusia menginterpretasikan
segala hal sebagai hasil karya (hasil tindakan) dari super natural being. Tahap
pemikiran ini para ahli di bidang agama dianggap sebagai tahap perkembangan
agama pada tingkatnya yang animisme atau animatism. Tetapi evolusi pemikiran
manusia berlangsung terus. Melalui suatu proses kerja atau daya imajinasi,
manusia mulai menyederhanakan jumlah daripada kekuatan-kekuatan gaib yang
dianggap menguasai segala benda-benda dan sesuatu yang bergerak. Proses penyederhanaan
dari kekuatan-kekuatan gaib tadi menjurus kearah tahap pemikiran yang bersifat
polytheism yaitu tingkat pemikiran bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam
ini adalah oleh kemauan dewa-dewa. Timbullah anggapan di dalam tahap ini
beberapa dewa yang menguasai gejala-gejala tertentu. Ada yang dinamakan dewa
angin, dewa pohon, dewi asrama dll, dimana masing-masing dewa itu hanya
mengatur suatu kekuatan atau bagian khusus tertentu. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang
memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang
percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk
selain insani.Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama).Di sini, manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di
balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Comte juga membaginya ke dalam periode
fetisisme.politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan
dalam masyarakat primitive meliputu kepercayaan bahwa semua benda memiliki
kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Monoteisme, bentuk pikiran manusia,
kepercayaan akan banyak dewa diganti dengan kepercayaan akan satu yang
tertinggi.
2.
Tahap
metafisik (the metephysical abstrak
stage). Pada tahap ini manusia menganggap bahwa alam semesta dengan segala
isinya diatur dan adanya dan gerak perubahannya oleh hukum-hukum alam. Setiap
gejala terdapat kekuatan – kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan
dapat diungkapkan. Pada tahap ini suatu tahap transisi pemikiran manusia, untuk
sampai kepada tahap ketiga dari tingkatan pemikiran yaitu the positive or scientific stage, yaitu
suatu tingkat pemikiran yang menganggap bahwa semua gejala alam dengan segala
isinya hanya dapat diterangkan serta dipahami melalui kenyataan-kenyataan
obyektif/positif, dan bukannya melalui interpretasi teologis atau methapisic.
3.
Tahap
positif
adalah suatu cara berpikir bahwa untuk memahami semua
gejala alam haruslah melaui pengamatan/observasi terhadap gejala itu sendiri,
tanpa melihat kekuatan-kekuatan yang abstrak diluar kenyataan itu. ditandai
oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi
pengetahuan selalu sementara sifatnya (tidak mutlak), semangat positivisme
memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar
mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.Akal budi sangatlah
penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data
empiris.
Comte
mengakui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap yang berikutnya tidak pernah
terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan suatu garis pemisah yang
jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru.
B.
Statistika
dan Dinamika Sosial
Dengan statika sosial dimaksudkan semua unsur struktural
yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara
lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai – nilai
seperti keyakinan, kaidah dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang
konkret dan mantap kepada kehidupan bersama. Statika sosioal itu disepakati
oleh anggota dan karena itu disebut dengan volonte
general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan
persatuan, perdamaian, dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur – unsur
struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan
perpecahan mengenai hal – hal yang dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak
tercapai, menghancurkan masyarakat.
Dengan istilah dinamika sosial dimaksudkan semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika
sosial adalah daya gerak sejarah tersebut tadi, yang pada setiap tahap evolusi
mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setinggi dengan kondisi dan
keadaan zaman. Dalam abad ke-18 dinamika sosial paling menonjol dalam perjuangan
dan usaha untuk mengganti gagasan – gagasan agama yang lama dan konsep – konsep
positif dan ilmiah yang baru. Comte telah belajar dari sejarah dunia, bahwa
tiap – tiap perubahan dibidang politik, hukum, tata pemerintahan, kesenian,
agama, ilmu pengetahuan dan filsafat langsung berkaitan dengan hukum evolusi
akal budi. Tiap – tiap tahap baru dalam cara manusia berpikir menghasilkan
bentuk masyarakat yang baru juga.
Pada tahap religius masyarakat dihayati sebagai kehendak
dewa atau Allah. Pemerintahannya berstruktur feodal dan paternalistis. Hormat
besar bagi pemimpin dan pembesar menjadi wajib. Ekonominya bercorak
“militaristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memproduksi sendiri barang
kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika
mengakibatkan kemunduran agama, yang terlihat dari adanya perombakan atas
kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun
kembali suatu orde baru yang kokoh – kuat, dimana peranan agama dan filsafat
diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Sarjana
mengganti ulama, dan industriawan mengganti serdadu ( Storig H.J., dalam
Veeger, 1982).
Comte telah menyaksikan krisis sosial yang hebat,
disebabkan oleh pembenturan antara masyarakat tradisi dengan masyarakat
industri baru. Kendati demikian, ia berkeyakinan teguh bahwa masyarakat akan
menjadi tertib kembali kalau suatu kesepakatan tentang nilai – nilai baru akan
tercapai.
C. Agama Humanitas
August Comte
Desakan untuk mendirikan agama positif terutama karena
mengingat runtuhnya tatanan sosial tradisional yang sebelumnya sudah memuncak
dalam Revolusi Perancis, dan Comte khawatir kalau mengarah ke anarki.
Sementara humanitas merupakan objek utama pemujaan dalam
agama baru itu, konsep humanitas selalu kabur untuk orang yang mau mengenalnya
(khususnya masyarakat biasa). Supaya konsep ini dapat ditangkap, wanita atau
kewanitaan akan disembah sebagai perwujudan kehidupan perasaan dan sebagai
pernyataan yang paling lenkap dari cinta dan altruisme. Berulangkali Comte
mengemukakan bahwa perasaan wanita dan altruisme lebih tinggi daripada intelek dan egoisme pria menurut
nilai sosialnya.
Comte dikesankan oleh kebudayaan abad pertengahan. Bukan
tahap evolusi pemikiran manusia yang mengesankan dia masa itu, melainkan
pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai – nilai rohani dengan nilai –
nilai duniawi. Misalnya lembaga keluarga tidak semata – mata dianggap sebagai
lembaga sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sakral juga. Terddorong oleh
keyakinan bahwa hati manusia merupakan daya ang terutama, ia melucuti angkatan
bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi status sakral
kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan meluhurkan peranan
mereka dalam rumah tangga. Ia menentang perceraian. Bunda Maria, ibu Yesus al
Masih, dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia menyatakan hormatnya
kepada seluruh ibu.
Dalam kehidupannya sendiri, nampaknya Clothilde de Vaux
menggantikan Perawan Maria serta menjadi simbol perwujudan “wanita ideal”.
Dalam istilah Freud, reaksi emosional Comte sendiri terhadap hubungan fisik
yang tak terpenuhi dengan Clothilde de Vaux merupakans sublimasi terhadap suatu
tatanan yang lebih tinggi. Hubungan cinta mereka adalah hubungan cinta murni
tanpa hubungan fisik (menyebabkan Comte sangat frustrasi); sesudah kematian
istrinya itu, hubungan rohaniah ini diubah Comte menjadi penyembahan terhadap
roh wanita yang dia ketemukan sedemikian indah dan sempurna terjelma dalam
tubuh Clothilde de Vaux. Sebetulnya Comte menjadi sedemikian terpikat oleh
pandangannya mengenai masyarakat positivis dimasa depan hingga dia malah
membayangkan suatu kemungkinan pria dan wanita akan berkembang kesuatu titik dimana hubungan seks
tidak diperlukan lagi dan “kelahiran akan muncul begitu saja dari wanita.”
Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali
masyarakat atas dasar prinsip – psrinsip positivisme hanya mungkin dilaksanakan
melalui agama gaya baru, yaitu agama
sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari – hari raya, dan orang – orang
“Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal – budi maupun
perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan
agama baru itu. Yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan, melainkan
humanitas atau kemanusiaan. Kita harus mencintai humanitas. Dengan humanitas
tidak dimaksudkan untuk semua orang, tidak termasuk bagi yang jahat dan tidak
becus, melainkan orang – orang terbaik yang pernah dihasilkan sejarah dan masih
hidup melalui karya dan pengaruh mereka. Menurut Comte, cinta inilah yang akan
memulihkan keseimbangan dan keintegrasian baik dalam diri pribadi individu
maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan pemerintahan sipil,
menjinakkan, dan mengendalikan tiap – tiap kekuasaan duniawi.
keren banget hidupnya...
BalasHapus