1. Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan
Perbedaan gender sesungguhnya tidak
menjadi masalah selama tidak melahirkan kertidakadilan gender (gender inequalites). Perbedaan gender
dengan pemilahan sifat, peran dan posisi sebagaimana diuraikan di atas tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan (Faqih, 1996: 12).
Namun pada kenyataannya perbedaan gender ini telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ketidakadilan
gender merupakan sistem dan struktur baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Memahami perbedaan gender dapat menyebabkan
ketidakadilan gender. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
ketidakadilan yang ada. Uraian berikut membahas secara ringkas masing-masing
manifestasi ketidakadilan gender:
a.
Gender dan marginalisasi perempuan
Marginalisasi kaum
perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat
sudah sering dijumpai. Hal ini bisa dilihat dari berbagai bidang kehidupan terutama
dalam hal lapangan pekerjaan. Ada pelabelan (stereotipe) terhadap profesi tertentu, yang seakan mengharuskan
masing-masing jenis kelamin memilih profesi yang sudah disepakati. Pekerjaan
rumah tangga untuk perempuan, sedangkan profesi sopir yang gajinya lebih besar
untuk laki-laki. Meski tidak jadi jaminan, bahwa menyetir kendaraan lebih berat
dibandingkan memasak, mencuci, mengasuh anak dan sebagainya. (Sudrajat, 2008:
163).
Marginalisasi merupakan rendahnya status dan akses
serta penguasaan seorang perempuan terhadap sumber daya ekonomi, dan politik
dalam pengertian kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan. Anggapan bahwa perempuan hanya diberi tugas
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, akan menyebabkan kondisi perempuan
terbelakang dan miskin. Marginalisasi perempuan muncul dan menunjukkan bahwa
perempuan kurang begitu diperhitungkan sehingga perempuan menjadi dinomorduakan
dan kurang diperhitungkan. Usaha ini telah menyebabkan terjadinya proses
produksi pertimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat
pekerjaan, tetapi terjadi juga dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan
bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah
tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan
perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir
keagamaan, misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi
hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir
keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum
perempuan.
b.
Gender dan Subordinasi
Subordinasi merupakan
pementingan peran laki-laki daripada perempuan. Misalnya dalam pekerjaan biasanya
perempuan selalu dinomorduakan yang menyebabkan terjadi ketidakadilan gender
dalam masyarakat. Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga
perempuan tidak bisa tampil memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut
terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari
waktu ke waktu.
Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan
keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan
anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik
seperti ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
c.
Gender dan Stereoti
Stereotipe
merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan
menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum
perempuan adalah melayani suami. Sterotipe
ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini
terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan
kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut. Misalnya penandaan yang berasal dari asumsi
masyarakat bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian
lawan jenisnya, sehingga setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual
selalu dikaitkan dengan stereotipe
ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat
berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa
tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum
perempuan dinomorduakan.
d.
Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence)
adalah serangan atau invasi (assault)
terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan
terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah
satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh
anggapan gender. Ini disebut gender-related
violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabakan oleh ketidaksetaraan
kekuatan yang ada dalam masyarakat.
e.
Gender dan beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiki sifat memelihara
dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Konsekuensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan
mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara
anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung
oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika perempuan tersebut harus bekerja,
maka ia memikul beban ganda.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam
bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan, beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan.
Pertama, manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi di tingkat negara, yang dimaksudkan di sini
baik pada satu negara maupun organisasi antarnegara. Kedua, manifestasi
tersebut juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan.
Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum
pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga,
manifestasi ketidakadilan gender juga terjadi dalam adat istiadat masyarakat di
banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan.
Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih
banyak mencerminkan ketidakadilan gender tersebut. Keempat, manifestasi
ketidakadilan gender itu terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses
pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam
banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi asumsi
bias gender. Oleh karena itu, rumah
tangga juga menjadi tempat kritis dalam menyosialisasikan ketidakadilan gender.
Terakhir yang paling sulit diubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah
mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun kaum
laki-laki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manifestasi ketidakadilan
gender ini telah mengakar dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga
pada tingkat negara yang bersifat global. (Faqih, 1996: 13-23).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar