Jumat, 05 Juni 2015

Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan

1.    Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan
        Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan kertidakadilan gender (gender inequalites). Perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran dan posisi sebagaimana diuraikan di atas tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan (Faqih, 1996: 12). Namun pada kenyataannya perbedaan gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Memahami perbedaan gender dapat menyebabkan ketidakadilan gender. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Uraian berikut membahas secara ringkas masing-masing manifestasi ketidakadilan gender:
a.         Gender dan marginalisasi perempuan
             Marginalisasi kaum perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat sudah sering dijumpai. Hal ini bisa dilihat dari berbagai bidang kehidupan terutama dalam hal lapangan pekerjaan. Ada pelabelan (stereotipe) terhadap profesi tertentu, yang seakan mengharuskan masing-masing jenis kelamin memilih profesi yang sudah disepakati. Pekerjaan rumah tangga untuk perempuan, sedangkan profesi sopir yang gajinya lebih besar untuk laki-laki. Meski tidak jadi jaminan, bahwa menyetir kendaraan lebih berat dibandingkan memasak, mencuci, mengasuh anak dan sebagainya. (Sudrajat, 2008: 163).
Marginalisasi merupakan rendahnya status dan akses serta penguasaan seorang perempuan terhadap sumber daya ekonomi, dan politik dalam pengertian kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan.  Anggapan bahwa perempuan hanya diberi tugas untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, akan menyebabkan kondisi perempuan terbelakang dan miskin. Marginalisasi perempuan muncul dan menunjukkan bahwa perempuan kurang begitu diperhitungkan sehingga perempuan menjadi dinomorduakan dan kurang diperhitungkan. Usaha ini telah menyebabkan terjadinya proses produksi pertimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. 
 Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi terjadi juga dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan, misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
b.         Gender dan Subordinasi
              Subordinasi merupakan pementingan peran laki-laki daripada perempuan. Misalnya dalam pekerjaan biasanya perempuan selalu dinomorduakan yang menyebabkan terjadi ketidakadilan gender dalam masyarakat. Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.
          Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
c.      Gender dan Stereoti
        Stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Sterotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut. Misalnya penandaan yang berasal dari asumsi masyarakat bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, sehingga setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
d.         Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabakan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
e.         Gender dan beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban ganda.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan, beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Pertama, manifestasi ketidakadilan gender tersebut terjadi  di tingkat negara, yang dimaksudkan di sini baik pada satu negara maupun organisasi antarnegara. Kedua, manifestasi tersebut juga terjadi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga, manifestasi ketidakadilan gender juga terjadi dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan di masyarakat masih banyak mencerminkan ketidakadilan gender tersebut. Keempat, manifestasi ketidakadilan gender itu terjadi di lingkungan rumah tangga. Bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi asumsi bias gender. Oleh karena itu,  rumah tangga juga menjadi tempat kritis dalam menyosialisasikan ketidakadilan gender. Terakhir yang paling sulit diubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada tingkat negara yang bersifat global. (Faqih, 1996: 13-23).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar