Sabtu, 06 Juni 2015

Pemikiran Sosiologis Max Weber mengenai kelas, status, kekuasaan dan masalah rasionalitas

Add caption
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
            Berlawanan denga kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber  sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
            Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1. Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
            Dalam  patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious. Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3.Charismatic authority,  yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,  pemimpin partai, dan sebagainya.
            Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
            Tipe-tipe rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
            Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak. Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar