![]() |
Add caption |
Dimulai
dengan kelas, kelas
dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang
sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber
berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas
bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka
dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber
menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat
tertentu.
Berlawanan denga kelas, biasanya
status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan
manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih
ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah
jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status
terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait
dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup
berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status,
terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu
sama lain.
Kekuasaan
menurut Weber adalah kemampuan
untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan
dari orang lain. Max
Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam
hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut
Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang
diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Sedangkan
kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan
sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si
pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam
tiga tipe berikut.
1. Ratonal-legal authority, yakni
bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini
dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan
haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang
bersifat politis.
2.Traditional authority, yakni
jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini
diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang
ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan
patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan
didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara
tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan
patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan
seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang –
orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
Dalam
patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang
peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui
tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan –
hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang
kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini
adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu
gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib
maupun religious. Contoh
patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga,
anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai
rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3.Charismatic
authority, yakni wewenang yang dimiliki
seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini,
kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa
memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan
dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas
diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan
internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena
kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang
kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,
pemimpin partai, dan sebagainya.
Minat
Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme
“kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit
memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber.
Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak
manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu
(Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis
rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun,
konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar,
namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan
Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi:
perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban,
instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe
rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl
Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas
duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan
egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya
ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi
sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
Rasionalitas
teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui
konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas
ini melibatkan proses kognitif abstrak. Rasionalitas
substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas
teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola
melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk
mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara
sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe
rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada
postulat nilai yang konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar