Monumen Jogja Kembali (Monjali)
merupakan sebuah monumen yang ada di Yogyakarta. Monumen tersebut berdiri di
atas sebuah lahan seluas lima hektar yang berlokasi di desa Jongkang,
Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Lahan yang dipakai adalah lahan kas
desa (tanah bengkok) atau tanah garapan yang diberuikan oleh pemerintah kepada
kepala desa (lurah).
Lahan itu dipilih karena adanya
titik imaginer. Terdapat enam titik imaginer yang apabila ditari akan
membentuik sebuah garis lurus. Titik-titik tersebut yaitu Gunung Merapi, Monumen
Jogja Kembali (Monjali), Tugu Jogja, Kraton Jogja, Panggung Krapyak, dan Pantai
Parang Tritis. Pada Monumen Jogja Kembali (Monjali), titik tersebut terletak
pada tepat peletakkan batu pertama dan dikuburnya kepala kerbau pada upacara
pembangunan monumen. Titik tersebut kemudian disebut sebagai poros makro kosmos
yang berarti titik besar kehidupan.
Ide
pembangunan Monumen Jogja Kembali (Monjali) bermula pada saat dilaksanakannya
tirakatan di Gedung Agung pada tahun 1938. Saat itu Dr. Ruslan Abdul Gani yang
berasal dari Surabaya menyampaikan gagasannya bahwa Yogyakarta membutuhkan
sebuah monumen sebagai tetenger sejarah atau bukti sejarah. Saat itu pula ide
yang disampaikan mendapat dukungan mutlak. Kemudian dibentuk sebuah panitia
pembangunan. Dana yang digunakan sebagai dana pembangunan tudak berasal dari
dana pemerintah melainkan dana dari dermawan yang terkumpul mencapai 9,5 miliar
rupiah. Ahli bangunan berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
berkolaborasi dengan ahli bangunan dari Universitas Gadjahmada (UGM).
Sedangkan, arsitek yang merancang pembangunan monumen tersebut adalah Drs. Edi
Sunarso seorang seniman dari Yogyakarta yang berasal dari Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Monumen
Jogja Kembali (Monjali) yaitu berbentuk kerucut. Bentuk bangunan ini ditetapkan
melalui sayembara bentuk bangunan. Bentuk kerucut dipilih dengan maksud untuk
melestarikan budaya nenek moyang zaman prasejarah yang merujuk pada bentuk gunung
Merapi, gunungan pada upacara Sekaten, dan gunungan pada kesenian wayang kulit.
Tinggi bangunan tersebut adalah 31,8 meter dan dikelilingi oleh kolam air yang
berfungsi sebagai pendingin daripada bangunan itu sediri, serta dalam sudut
pandang budaya dimaksudkan sebagai lambang adanya kesucian niat dari nenek
moyang pada saat berjuang.
Nama
Monumen Jogja Kembali dipilih untuk memperingati kembalinya pemerintahan RI ke
Yogyakarta. Tujuan dari pembangunan monumen tersebut adalah untuk melestarikan
nilai-nilai perjuangan bangsa, penghargaan untuk para pahlawan bangsa, sebagai
bukti sejarah, dan sebagai saran pendidikan. Monumen Jogja Kembali (Monjali)
berisi benda-benda sejarah yang digunakan oleh pahlawan-pahlawan pada masa
perjuangan misalnya meja dan kursi yang digunakan oleh Bung Hatta di rumah
dinasnya di Yogyakarta; tempat tidur Bung Karno; dll, replika
peristiwa-peristiwa sejarah misalnya terjadinya Serangan Umum 1 Maret; proses
pelaksanaan perjanjian Roem Royen; Konferensi Asia-Afrika;dll, peta perjuangan
dan serangan Belanda di Yogyakarta, serta dokumentasi yang lain seperti
foto-foto,dan lain-lain.
Monumen Jogja Kembali (Monjali)
terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama yaitu museum, aula yang sering
digunakan untuk pertemuan-pertemuan seperti wisuda; syawalan;dll, perpustakaan,
kantor, mushola, toilet,dll. Di lantai kedua terdapat bagan luar relief yang
berjumlah 40 episode adegan perjuangan dari tahun 1945 sampai tahun 1949, ruang
Diorama yang terdiri dari 10 ruang yang salah satunya menceritakan terjadinya
Agresi Tentara di Yogyakarta tahun 1948 sampai tahun 1949. Sedangkan lantai
ketiga yaitu ruang Garba Graha. Garba berarti dalam, Graha berarti rumah, Garba
Graha yaitu bagian dalam rumah yang digunakan untuk berdoa atau meditasi. Ruang
Garba Graha digunakan sebagai ruang hening utnuk mendoakan arwah pahlawan
bangsa dan juga untuk mendoakan diri sendiri.
Logo
Monumen Jogja Kembali (Monjali) berbentuk bulat dan terdapat tulisan Jawa di
dalamnya yang berbunyi Gapura Papat Ambuka Jagad. Gapura berarti pintu, papat
berarti empat, ambuka berarti membuka atau terbuka, dan jagad berarti dunia,
maka arti sesungguhnya adalah empat pintu terbuka untuk dunia (gate for open
the world). Hal itu menunjukkan bahwa Monumen Jogja Kembali (Monjali) memiliki
empat pintu yaitu di bagian barat, timur, utara, dan selatan bangunan. Namun,
pintu di bagian utara pada akhirnya ditutup dan dialihkan menjadi satu di
bagian selatan agar pengunjung dapat berkeliling bangunan. Di balik tempat logo
tersebut terdapat daftar nama pahlawan yang gugur sebanyak 422 orang dan
ditambah dengan nama-nama pahlawan yang tidak dikenal. Di tengah daftar nama
pahlawan tersebut terdapat sebuah puisi karya Khairil Anwar yang berjudul
Karawang-Bekasi sebagai sebuah hadiah atau penghormatan untuk jasa para
pahlawan.